Rabu, 22 Mei 2013

Senin Kelabu (untuk alm. Jetje Rawung)

oleh Iswan Sual



Senyum dan tawa terlukis indah
Pada wajah wanita yang tak lagi muda
Saban hari bercita menata bangsa
Mengirim harap menembus mega
          Siapakah dia?
          Masihkah ada orang seperti itu?
Bukan sedikit peluh yang tercurah
Tenaga yang terkuras
Otak berkali-kali diperas
Hingga reyot melemas
          Siapakah dia?
          Masih adakah orang begitu?
“Nak, belajarlah tak kenal waktu,
Terbanglah ke tempat yang kau tuju
Raih bintang gemintang
Sehingga tidak enteng kau dipandang.”
          Kata-kata siapakah itu?
          Masih adakah orang yang bicara begitu?
Lihat, siapa yang telah
Terbujur kaku disana?
Dalam diam dia bicara
Ingatkan kita tentang cita tuk nusa
          Lihat! Dia telah berhenti berdendang
          Tidak lagi menari atau menulis satu iota pun pada papan
          Padahal semua itu masih kami rindukan
          Semua itu telah hilang
ditelan menjelang Senin malam
Lihat! Lihat! Langit itu mendung
Perlambang dia juga kehilangan
Kehilangan bintang gemintang gemerlapan
Namun oleh kita sebelah mata dipandang
          Ibu guru, kepada yang kuasa
          Telah kukirimkan pesan
          “Jemputlah sang bintang tak berpantang,
          Belailah dia di atas pangkuan.”
Ibu guru, selamat jalan
Kepergianmu telah terbungkus kasih Tuhan
Semangat juangmu kan selalu kami kenang
Sebab bekal-bekalmu telah dikandung badan
          Selamat jalan ibu guru
          Inilah kami hendak mengantarmu
          Pergilah kau dengan iringan merdu
          Damailah selalu di tempat yang kau tuju

Sajak Untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (untuk alm. Jetje Rawung)

Oleh Iswan Sual



Tadi malam aku terhenyak dengar kabar
Tentang kelam yang datang
Lonceng berdentang
melingkupi desa
“Ibu guru kita telah berpulang ke alam baka.”
          Padahal kemarin engkau masih lincah
          Menari-nari di depan siswa
          Menuangkan makna-makna indah
tentang cita untuk bangsa
kini kau t’lah tiada, pahlawan tanpa tanda jasa
Ibu guru, kenapa begitu lekas?
Kecewakah engkau karena kami tak menjadi
Seperti yang kau harap?
Sedihkah engkau karena didikkanmu
Tak jadi nyata dalam tiap langkah?
          Sungguh, di kala engkau mengajariku baca
          Agar kelak aku bisa melalangbuana
          Jauh-jauh menembus cakrawala
Sungguh, ketika engkau bercerita
Tentang Amerika, Eropa, negeri-negeri nun jauh di sana
Engkau berkata,
“Kejar impianmu, nak.
Kejar impianmu sampai ujung bumi.”
Dan engkau benar
Engkaulah guruku yang tak pernah berdusta
Bahkan demi kami kau mau menderita
          Ibu guru, lihat! Lihat! Langit pun mendung
          Tak rela kau pergi menghilang di awan-awan
          Langit pun ingin diajar bagaimana membaca
          Menulis, bersikap jujur,
menjadi panutan dalam tindak dan tutur
Puluhan tahun keringatmu mengalir
Tapi tak satu pun kami sadar
Tak terkira peluh-peluh terkuras habis
Tak satu pun kami insaf
          Ibu guru, melihatmu terbujur kaku
          Seakan harapan kami ikut pupus
          Berat rasanya kami ditinggal
          Berat rasanya menerima kenyataan
Kaulah yang mengajarku menghitung
Menghitung bintang gemintang di angkasa
Kini kutahu kenapa
Kenapa aku mesti menghitung benda langit
Yang antah berantah berapa jumlahya
          Kau ingin kami menjadi bijaksana
          Laksana Ganesa tak surut meski telah rentah
          Kau ingin kami bahagia
          Sebahagia orang yang sejatinya bahagia
Kini kau telah tiada
Yang tinggal hanya pesona merona
Yang membekas hanya semangatmu yang tak patah
Tak lekang oleh waktu. Tak bisa punah
          Malu kami mengangkat muka
          Kami yang muda mengaku t’lah tua
          Kami yang masih bau kencur
          Merasa sudah usur berumur
Ibu guru, jasadmu akan terkubur
Tetapi semangat juangmu dalam sanubari
Takkan pernah luntur
Meski waktu terus gugur
          Dalam hati terukir dengan tinta emas
          “Di kampung kami, pernah hidup seorang wanita
yang tegas,
          Yang selalu bekerja keras.”
Ibu guru, jasamu tak sanggup kami balas
Hanya harap kami kirimkan ke atas
Selamat jalan ibu
Ingatlah kami bila olehNya kau telah dipangku

Untung Ada Dia


oleh Iswan Sual
 
 
Melihat mereka,
Nafasku tak menentu
Dalam hati berseru-seru
Berharap beroleh petunjuk
Aku jatuh lemas tertunduk
Kalau hari ini begini,
Bagaimana nanti?
Serasa ku tak kuat lagi
Mereka tentu tertawa bila aku pergi
Untung ada dia
Dia buatku lupa smua lara
Walau tak tak berlangsung lama
Dia seumpama oase di tengah gurun
Memberi kelegaan saat hujan tak pernah turun
Untung ada dia
Walau tersiksa dalam neraka
Dikirimnya aku bunga
Demi melihatku tersenyum dan tertawa

Pujian perawan


oleh Iswan Sual
 
 
Aku tersanjung hari ini kawan
Katanya puisiku membuah kesan
Menyentuhnya ke dalam
Serasa terbang aku hingga awan
Tak terkata isi hati ini kawan
Katanya puisiku buat dia tertawan
Duhai kawan! Ia itu elok rupawan
Insan mana tak tenggelam
Marilah saksikan kawan
Ikutlah aku bertemu si perawan
Biarlah kau lihat si jelita tak ada tandingan
Biar kau lihat ku beri dia cincin tunangan
Ayolah kawan
Kelak ke cucu-cucu kau ceritakan
Tentang juang
Pemuda yang tak lekang

Tunggu Aku Sayang


Oleh Iswan Sual
 
 
Layar telah terkembang sayang
Tak tahu kapanku pulang
Sapu tanganku tetaplah kau simpan
Biarlah itu jadi kenangan
Iringlah aku denga harapan
Hentarlah dengan senyuman
Agar aku sampai tujuan
Agar terkejar semua impian dan angan
Sabarlah sayang
Tunggu aku pulang
Hatimu jangan kau lunturkan
Ingatlah juangku di perantauan
Pandanglah bulan saat malam
Bicaralah pada bintang-bintang
Kukirim mereka padamu jadi teman
supaya kau riang walau sendirian

Kesendirian

Oleh Iswan Sual

Tak ada lawan bicara
Waktu berjalan terus
Muncul rasa bosan
Hanya berteman kebisuan
Mulut berkarat terasa pahit
Telinga berdesing dalam senyap
Mata membelalak
Melihat langit-langit
Tak tahu apa dibuat
Mencoba menyelidik
Buku ber-rak-rak
Tak satupun menarik minat
Aha! Baiknya ku tulis sajak
Sajak mengusik hati nan penat
Sajak mengobati kerinduan
Sajak mengusir kesendirian

Dengan Membaca

Oleh Iswan Sual

Dengan membaca
Aku bisa berkelana
Mengunjungi pantai Kuta
Menyentuh lekuk-lekuk eksotis Borobudur
Memanjat patung Liberti di Amerika
Dengan membaca
Aku mencicipi spageti
Meneguk anggur terbaik Eropa
Membeli pakaian kelas atas di Paris
Melihat para sineas beraksi di Hollywood
Dengan membaca
Aku bisa membuang abu di sungai Gangga
Mendaki  hingga puncak Himalaya
Berenang puas di Antartika
Bertemu Leon Trotsky di Rusia
Dengan membaca
Aku pura-pura tersesat dalam hutan Amazon
Bersenandung di ujung Zion
Bergabung dalam tim Indiana Jones
Mencari benda magis
 Dan menemu harta karun
Dengan membaca
Aku mengecap singkat panas api neraka
Bermanja pada pangkuan Tuhan di surga